Sunday, June 4, 2017
Home »
» Sejarah Filsafat Lingkungan Hidup: Sebuah Refleksi Hari Lingkungan Hidup ke-45
Sejarah Filsafat Lingkungan Hidup: Sebuah Refleksi Hari Lingkungan Hidup ke-45
Oleh: Penulis FIR, Staff Kasta HMD Ilmu Sejarah UNAIR 2017
Dalam buku Etika Lingkungan Hidup yang ditulis A. Sonny Keraf menyingkapkan bahwa krisis dan bencana lingkungan hidup global dewasa ini sesungguhnya disebabkan karena kesalahan paradigma antroposentrisme yang memandang bahwa manusia sebagai pusat dari segala sesuatu, sebaliknya memandang alam sebagai nilai (instrumental) yang menjadi syarat utama kepentingan ekonomi manusia. Paradigma ini yang melahirkan perilaku eksploitatif (eksesif) yang merusak lingkungan alam sebagai komoditas ekonomi dan alat pemuas kepentingan manusia.
Solusi yang ditawarkan sejalan dengan itu adalah perubahan radikal paradigma kita dari - antroposentrisme menjadi biosentrisme, atau bahkan ekosentrisme, - yang memandang alam sebagai sama pentingnya karena mempunyai nilai intrinsik pada dirinya sendiri justru karena ada kehidupan makhluk hidup pada umumnya yang harus dihormati dan dijaga kelestariaannya (Keraf, 2014:7)
Menimbang dari pada itu A. Sonny Keraf lebih menekankan bahwa dalam meninjau kembali paradigma filosofis tentang - hakikat alam semesta sepanjang perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, - kita kembali menyadari bahwa filsafat lingkungan hidup sesungguhnya adalah filsafat pertama yang menjadi titik awal lahirnya filsafat dan cikal bakal semua cabang dari ilmu pengetahuan. Kita menemukah bahwa sejak awal mula, objek yang menakjubkan, mengherankan, dan menjadi - pergumulan pemikiran manusia serta menandai lahirnya filsafat pertama di Yunani Kuno pada abad ke-6 SM sesungguhnya tidak lain adalah soal hakikat alam semesta, atau tepatnya hakikat segala sesuatu di alam. Oleh karena itu pada tahap ini dikenal sebagai generasi "filsul alam" (Keraf, 2014:9)
Fase Perkembangan
Dalam hal ini, pendapat Keraf sejalan dengan kerangka berpikir Thomas Kuhn, yang berpendapat bahwa kita dapat memperkuat dan berani mengatakan bahwa filsafat tentang alam, dan filsafat ilmu pengetahuan, telah mengalami tiga fase dalam dua perubahan paradigma penting sepanjang sejarah filsafat dan ilmu pengetahuan (Keraf, 2014:11).
Fase Pertama, adalah zaman para filsuf alam, dengan tokoh yang berasal dari Miletus - seperti Thales yang menganasir bahwa segala sesuatu berasal dari air, Anaximandros yang menganasir segala sesuatu yang berasal dari tidak terhingga (apeiron), Anaximenes yang menganasir segala sesuatu berasal dari udara, Heraklitos yang menganasir segala sesuatu berasal dari api (Santoso, 2015:7-8). Dan khususnya pandangan dari Aristoteles, yang memahami alam semesta secara organis sebagai sebuah kesatuan asasi diantara berbagai bagian alam semesta. Alam dipahami secara organis sebagai sebuah kesatuan asasi dan telah mengalami perubahan paradigma pembuatan alam oleh Tuhan sejak periode Elea yakni Xenophanes, Parmenides, Zeno, dan Melissos yang terkulminasi pada periode Filsafat Katolik (Pertengahan) Santo Agustinus, St. Benedict dan Gregori Agung.
Pemahaman ini bertahan sampai akhir abad pertengahan 1500 M (sampai awal Renaisans) dan telah membentuk karakter sekaligus perilaku manusia terhadap alam sebagai sebuah pola hubungan harmonis yang melindungi alam semesta seluruhnya sebagai bagian dari kehidupan manusia dengan Tuhan.
Fase Kedua, lahir oleh munculnya Abad Pencerahan (Aufklarung) yang mengubah seluruh cara pandang tentang hakikat alam semesta. Terjadilah - perubahan yang meninggalkan paradigma organis tentang alam dengan digantikan oleh paradigma mekanistis tentang alam - yang sedemikian itu telah mendominasi masyarakat modern. Paradigma ini diterima sebagai satu-satunya pemahaman yang benar tentang alam semesta sekaligus membentuk perilaku dan peradaban (Barat) modern yang mempunyai dampak luar biasa dalam berbagai bidang lainnya, termasuk di bidang lingkungan hidup itu sendiri. Bertnand Russel (2004:691-735) dalam buku Sejarah Filsafat barat menyebutkan secara tersirat bahwa Paradigma mekanistis sangat dipengaruhi oleh teori ilmiah filsuf Rene Descartes dalam bukunya Principia Philosopia dan instrumen ilmiah fisika Isaac Newton yang menggabungkan pemahaman Copernicus, Kepler, dan Galileo dalam bukunya Principia. Yang dalam perspektif ini - alam semesta dan organisme - dipandang sebagai mesin yang terdiri dari bagian-bagiannya yang terpisah. Dan karena itu, organisme berkembang dan hanya bisa dipahami dengan mereduksinya kepada bagian-bagian yang seakan bagian yang menentukan keseluruhan organisme. Sedangkan, bagi Descartes sendiri tumbuhan dan binatang pun dipandangnya sekadar sebagai mesin, sama halnya juga tubuh manusia yang dipahaminya sekadar sebagai sebuah mesin. Hanya saja manusia berada di posisi yang lebih tinggi dari binatang dan makhluk hidup lainnya justru karena ada - akal (budi) dan jiwa - di dalamnya.
Fase Ketiga, menandai perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan pada abad ke -19 dan ke-20 Masehi ketika paradigma baru yang sesungguhnya tidak lain adalah paradigma organis-sistemis yang telah berkembang sejak awal munculnya filsafat. Fase baru ini ditandai oleh penemuan -Albert Einstein tentang teori relativitas dan teori kuantum.- sejak saat itu pula alam semesta tidak lagi dipandang sebagai sebuah mesin raksasa yang kaku dan kering melainkan sebagai satu-kesatuan menyeluruh yang saling terkait dan menunjang satu sama lain untuk memungkinkan kehidupan di dalam alam semesta dapat berkembang. Setiap bagian dalam alam semesta berkembang menjadi dirinya sendiri dengan terus-menerus meregenerasi dan membentuk dirinya sendiri secara otonom, tetapi bersamaan dengan itu terus-menerus membuka diri untuk menyerap aliran energi dan materi dari seluruh rangkaian sistem kehidupan lainnya, dan dengan cara itu pula setiap sistem kehidupan saling menunjang dan menghidupi satu sama lain (Whitehead, 2005:60-65)
dengan memperoleh deskripsi sejarah serta fase perkembangan dari berbagai literatur buku tentang filsafat lingkungan hidup diatas, kita bisa mengkelindankan sekaligus merekonstruksi pemahaman tentang alam semesta sebagai sebuah sistem kehidupan dan kehidupan sebagai sebuah proses kognitif yang mempunyai pemaparan pemikiran tentang prinsip ekologi yang sempat disinggung diawal tadi, bahwa inti prinsipnya adalah dasar untuk kita membangun masyarakat (modern) yang berkelanjutan. Kehidupan dalam bidang seperti sistem ekonomi, sosial, politik, bisnis dan pendidikan harus ditata ulang berlandaskan prinsip-prinsip alam yang telah telah ada sejak jutaan tahun yang lalu dengan mempertimbangkan kearifan alam sebagai ujung tombaknya. Lebih jelasnya lagi Fritjof Capra (2014:21) menyatakan bahwa prinsip-prinsip ekologis itu tidak lain adalah prinsip interdependensi atau juga prinsip jejaring, prinsip daur ulang, prinsip kemitraan, prinsip fleksibilitas, prinsip keragaman, prinsip energi surya dan prinsip keseimbangan dinamis yang ditujukan untuk kehidupan modern (dan berkelanjutan)
Dafpus
1. Hamersma, Dr. Harry, 2008, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Kanisius, Yogyakarta.
2. Listiyono Santoso, dkk, 2015 Epistemologi Kiri, Arr-Ruzz, Yogyakarta.
3. Keraf, A. Sonny, 2014 Filsafat Lingkungan Hidup: Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan bersama Fritjof Capra, PT Kanisius, Yogyakarta.
4. Russel, Bertnand, 2004, Sejarah Filsafat Barat: kaitannya dengan kondisi sosial-politik zaman kuno hingga sekarang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
5. Whitehead, Alfred North, 2005. Sains dan Dunia Modern: Pernyataan ulang terpenting tentang hubungan antara sains, filsafat dan kehidupan, Nuansa, Bandung.
"="="
Sekarang kita memperingati hari lingkungan hidup yang telah di dideklarasikan 45 tahun lalu di Stockholm Swedia oleh PBB, lalu apakah dengan filsafat lingkungan hidup diatas (masihkah!) kita tidak sadar dengan lingkungan alam?
Di tulis di Tepi Sungai Kumuh Dharmahusada, Surabaya
06/05/2017
0 komentar:
Post a Comment