Oleh: Donny Darmawan
(Ilmu Sejarah angkatan 2014)
(https://esoknanti.files.wordpress.com) |
Sejarah
manusia adalah sejarah pendidikan. Semenjak manusia lahir. Sejak itulah
pendidikan menunjukkan eksistensinya(Supeno,1999:64).
Karena tak lain pendidikan adalah sebuah proses interaksi individu dengan
lingkungan sekitarnya. Dari proses interaksi tersebut individu akan mendapatkan
pengalaman,pengetahuan serta keterampilan guna menikmati kehidupan yang lebih
baik. Atau dalam bahasa jawa pendidikan berarti Panggulawentah
mengolah,mematangkan perasaan, pikiran dan watak seseorang. Berbicara masalah
pendidikan kita akan melakukan anasir historis tentang bagaimana kondisi serta
system pendidikan nasional kita sebelum dan pasca proklamasi 17 agustus 1945.
Pasca
kekuasaan kolonial jatuh ke tangan jepang pada tanggal 8 maret 1942 lewat
perjanjian kalijati di Subang Jawa Barat. Otomatis pemegang kekuasaan secara
mutlak ada di tangan jepang. Dalam memulai kekuasannya, jepang gencar untuk
melakukan propaganda gerakan 3 A, ini sebagai langkah jepang untuk menarik
simpati dari kalangan rakyat serta tokoh-tokoh nasional. Setelah berhasil
menduduki Indonesia, jepang segera melakukan berbagai misi penting guna
kepentingan jepang dalam kebutuhan perang asia timur raya.
Kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah jepang tentunya memiliki dua sisi, di satu sisi
kita di untungkan oleh basis-basis pendidikan yang dibangun jepang, di satu
sisi jepang melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam kita,
mengingat latar belakang pendudukan jepang di Indonesia jug akibat masifnya
industrialisasi di jepang namun tidak di imbangi oleh sumber daya alam yang
memadai, tak heran jika awal pendaratan jepang di tarakan pada tanggal 10
januari 1942 tak lain karena ingin menyasar serta menguasai tambang minyak
tarakan. Di sector pendidikan, pemerintah jepang berkonsentrasi pada pendidikan
berbasis militer. Bukan tanpa sebab jepang membuka akses pendidikan militer di
Indonesia sebab, kebutuhan pasukan militer dalam perang asia timur raya semakin
tinggi. Badan militer yang dibentuk jepang melalui pendidikan antara lain :
Heiho, dan Peta. Untuk badan semi-militer jepang membentuk : Keibodan,Seinendan,Fujinkai
dan Syuisentai. Lalu bagaimana dengan sekolah sekolah alternative yang ada ?
seperti Taman Siswa, Muhammadiyah ? pemerintah jepang memberlakukan kebijakan
yang isinya adalah untuk menutup sekolah-sekolah swasta kecuali sekolah
kedokteran (Ika Daigaku) dan sekolah technic.
Tentu
dari uraian di atas. timbul suatu pertanyaan , seperti apakah orientasi
pendidikan di masa jepang ini ? sebagaimana penjelasan di atas, pendidikan akan
menyesuaikan kebutuhan penguasanya, ketika di massa jepang ini konsentrasi
pendidikan lebih dominan ke arah militer serta watak para penguasanya yang
fasis. Maka kaum terdidik yang ada di pendidikan militer telah di jauhkan oleh
realitas penderitaan rakyat Indonesia.
Konkritnya
tujuan pendidikan pada masa pendidikan Jepang di Indonesia adalah menyediakan
tenaga-tenaga cuma-cuma (Romusha) dan
prajurit-prajurit untuk membatu perperangan bagi kepentingan Jepang. Oleh
karena itu pelajar-pelajar di haruskan latihan phisik, latihan kemiliteran, dan
indoktrinasi ketat. Pada akhir masa Jepang terdapat tanda-tanda tujuan
pendidikan menjepangkan anak-anak Indonesia.
Proklamasi
17 agustus 1945 menjadi salah satu tonggak awal untuk mewujudkan kemerdekaan
bangsa yang sejati, para founding father telah merumuskan suatu langkah untuk
bagaimana membentuk karakter yang tepat bagi generasi bangsa kedepan , tak lain
melalui pendidikan, memasuki alam kemerdekaan tidaklah dengan rencana hampa
dalam bidang pendidikan. Sejak mulai disusunnya Undang-Undang Dasar 1945 telah
disusun panitia persiapan kemerdekaan dalam sub panitia pendidikan dan
pengajaran, dengan anggota-anggotanya antara lain, : Ki Hajar Dewantara,
Prof.Dr.Husen Djayadiningrat, Prof.Dr.Asikin, Prof.Ir.Roesono, Ki Bagus Haji
Hadikusumo, K.H. Mashur bertugas menyusun bentuk pengajaran bagi Indonesia
nanti.
Setelah
diadakan perubahan-perubahan seperlunya, akhirnya rencana tersebut diterima
oleh Sukarno sebagai panitia pusat. Rancangan Pendidikan Pengajaran dan
Kebudayaan itu terdiri dari 10 pasal(Supeno,1999:9),
yang pada pasal dua antara lain; Dalam garis-garis bab kemanusiaan, dan
kebudayaan bangsa serta menuju arah “keselamatan dan kebahagiaan masyarakat”.
Dari sini kita bisa yakin bahwa para founding father kita sejak awal sudah
berfikir tentang segala upaya pendidikan sepenuhnya yang pada akhirnya di
peruntukkan untuk keselamatan dan kebahagian rakyat. Ini dipertegas lagi dalam
UUD pasal 31, yakni seluruh warga negara berhak mendapatkan pengajaran serta
pendidikan layak.
Perlu
kita ketahui dari sini bahwa, sejak awal pendidikan bangsa ini telah
memihak,yakni memihak pada rakyat sebagai pemilik syah Republik Indonesia,
keberpihakan pendidikan era Sukarno kepada rakyat bukanlah hal yang mengada-ada
dengan “Menyokong Sosialisme Pendidikan”
pendidikan di era Sukarno adalah suatu proses pembentukan karakter dan
jati diri bangsa yang kukuh dan anti terhadap Neo-Kolonialisme dan
Imperialisme, pendidikan berarti pembebasan bagi umat manusia untuk mencapai kemerdekaan
diri dan sosial di segala aspek kehidupan.
Kaum
terpelajar&terdidik di era Sukarno pun, mengemban tugas untuk bagaimana
senantiasa hadir ditengah kondisi dan situasi rakyat yang menderita, karena
pendidikan yang mereka tempuh dan jalani selama masa didik, sangat demokratis.,
dimana rasa egalitersime sangat dipupuk di institusi pendidikan saat itu, juga
bagaimana Sukarno melihat pendidikan pun tidak bisa dari amanat penderitaan
rakyat, sebagaimana kebijakan yang dikeluarkan oleh kabinet ‘Amanat Penderitaan
Rakyat’.
Era
sukarno focus pendidikan berada dalam wilayah Nasionalisme, Nation and
Character Building dan Kesadaran Masyarakat. Ini tergambar jelas pada ‘Panca
Wardhana’ yang dikeluarkan pada 1964 yang isinya adalah bagaimana proses
pendidikan memiliki daya cipta,rasa,karya,kerja dan moral. Point-ponit tersebut
saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Di dorongnya rasa
nasionalisme untuk menumbuhkan bangsa yang berdikari, juga membuat
sector-sektor pendidikan menjadi tanggung jawab negara secara penuh,
dengan adanya nasionalisasi asset tahun
1954, perguruan tinggi juga termasuk di dalamnya, antara lain Universitas
Indonesia, Institut Teknologi Bandung serta Unair (Nias) yang di nasionalisasi
pada 10 november 1954.
Logika
dari sini jelas, bahwa memang pendidikan pada hakekatnya ditujukan kepada
mereka yang tertindas, terbelnggu kemerdekaannya , siapa saja tanpa pandang
bulu, ras, suku dan agamanya. Siapa yang masih terbelenggu hari ini ? Tiada
lain adalah Buruh pabrikan, Buruh Tani, Nelayan miskin, dan elemen rakyat lainnya. Kini pada
kenyataannya, pendidikan dengan rasa ke-egaliterisme telah hilang, wajah
pendidikan nasional saat ini telah menjadi pendidikan yang elitis,mahal serta
hanya mencetak intelektual yang jauh dari amanat penderitaan rakyat. Dan
praktik komersialisasi pendidikan merupakan bentuk pengkhianatan terhadap
cita-cita pendidikan adiluhung yang senantiasa mencerdaskan rakyat seutuhnya.
.
Daftar Pustaka:
Hadi
Supeno,1999. Pendidikan Dalam Belenggu
Kekuasaan(Lampung: Pustaka Paramedia).